Nama : Windu Aji Prasetyo
Kelas : 1IA18
NPM : 59413332
=========================================================================
Kaum-kaum muda sangat termotivasi terhadap permainan yang kontras. Bahkan bermain game merupakan bentuk kemampuan kognitif, dan pembelajaran non-formal bagi para mahasiswa. Permainan yang mencakup tujuan pendidikan akademis lebih berpusat pada peserta didik yang lebih mudah, efektif, menyenangkan, dan menarik.
Secara Khusus game merupakan lingkungan belajar yang berpotensi kuat dalam sejumlah alasan. Dengan game dapat mendukung multi indra, keaktifan, pengalaman, dan pembelajaran berbasis masalah bagi mereka.
Namun, seperti yang pernah ditulis oleh penulis tertentu (Facer 2003 , Kafai 2001, Kirriemuir , 2002 dan Kirriemuir , McFarlane , 2004) bahwa meskipun permainan yang diyakini memotivasi dan mendidik para siswa secara efektif, bukti empiris yang mendukung asumsi ini masih terbatas dan kotradiktif terutama mengenai efektivitas permainan untuk tujuan pendidikan.
Baru-baru ini, proyek penelitian tertentu yaitu TEEM (Teachers Evaluating Educational Multimedia) dan CGE (Computer Games in Education), menyelidiki pengguna game komersial di sekolah bermanfaat terutama mengenai pengembangan, keterampilan, dan motivasi sedangkan hasil pembelajaran kurikuler khusus jarang disebutkan. Secara khusus game tersebut memfokuskan pada tujuan pendidikan, mengatasi dampak motivasi, dan efektifitas pembelajaran.
Pada proyek E-GEMS (Electronic Games for Education in Math and Science) menunjukan bahwa permainan dapat meningkatkan motivasi anak-anak dan prestasi akademik dalam matematika dan ilmu pendidikan di kelas. Namun, penggunaan bahasa dan permainan matematika dengan siswa yang berusia 8 – 12 tahun menunjukan bahwa banyak siswa tidak dapat mengartikulasikan konsep-konsep matematika yang mendasarinya.
Dalam studi lain, Yu, Chang, Liu, dan Chan (2002) melaporkan bahwa penggunaan peermainan untuk sekolah bahasa Inggris yang tinggi berfokus pada prefensi dan kepuasan siswa dari pengalaman belajar. Rosas ET Al (2003) menemukan bahwa penggunaan game di perangkat portable menyebabkan peningkatan motivasi dan hasil belajar dibandingkan dengan pengajaran secara tradisional dalam matematika Sekolah Dasar dan membaca.
Penelitian ini menunjukan bahwa Digital Game Based-Learning (DGBL) dapat meningkatkan pengetahuan kurikuler dan motivasi siswa atau mahasiswa dalam mata pelajaran akademis ini di perguruan tinggi.
Pada pertumbuhannya e-Learning memiliki tingkat pertumbuhan 35.6%, namun ada pula kegagalannya. Sedikit yang dikatahui masyarakat pada umumnya tentang mengapa beberapa pengguna atau peserta didik berhenti belajar secara online setelah pengalaman awal mereka. Penelitian sistem informasi jelas telah menunjukan bahwa kepuasan pengguna adalah salah satu faktor paling penting dalam menilai keberhasilan implementasi sistem. Dalam lingkungan e-Learning, beberapa faktor menjelaskan tentang kepuasan peserta didik. Faktor-faktor tersebut dapat dikategorikan menjadi enam dimensi yaitu siswa, guru,kursus, teknologi, sistem desain, dan dimensi lingkungan. Karena begitu banyak faktor membuat implementasi dikatakan hampir mustahil berubah.
Survei dilakukan untuk mengetahui faktor penting yang memperngaruhi kepuasan siswa dalam e-learning. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja e-Learning yang disajikan oleh peneliti sebelumnya, pada dasarnya analitis dengan dimensi terstentu.
Hasil yang disajikan pasti bisa membantu lembaga untuk mengadopsi taknologi e-Learning dengan mengatasi hambatan potensial, dan dengan demikian mengurangi resiko kegagalan selama pelaksanaan.
Source : http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0360131506001874
Hubungan ini memungkinkan adanya mediasi oleh temuan rekayasa yang membutuhkan akses yang lebih intensif dan ekstensif dengan teknologi bila dibandingkan dengan pekerja sosial. Namun, penggunaan teknologi antara kelompok hanya bersifat kuantitatif.
Studi ini tidak menemukan bukti untuk mendukung klaim bahwa orang muda mengadopsi gaya belajar yang berbeda secara radikal. Sikap mereka terhadap belajar tampak dipengaruhi oleh pendekatan mengajar dosen.
Sebuah ide yang telah beredar bahwa generasi yang lahir setelah tahun 1980 tumbuh dengan akses komputer dan internet, sedangkan generasi yang lahhir sebelum tahun 1980 bernasib yang sebaliknya. Para pendukung ini mengklaim bahwa tidak hanya generasi digital natives yang memiliki kemampuan yang canggih dalam menggunakan teknologi digital, tetapi juga melalui eksposur mereka terhadap teknologi. Mereka telah mengembangkan secara radikal tentang kapasitas kognitif baru dan gaya belajar. Gaya pembelajaran baru dikatakan baik dalam beberapa media yang menilai dari masing-masing komunikasi, kegiatan, pengalaman, dan pemberdayaan belajar.
Sebuah pemahaman mengenai luasan dan sifat penggunaan teknologi oleh mahasiswa membutuhkan wawasan yang konteks dimana teknologi yang digunakan seperti sosialisasi dan keterbukaan terhadap pengalaman baru. Perbedaan disiplin adalah salah satu kunci kotekstual. Penelitian sebelumnya mengindektifikasi tingkat yang lebih menggunakan teknologi antara teknologi dan mahasiswa bisnis.
Akhirnya, penggambaran dan gabungan data secara kualitatif dan kuantitatif, dan perspektif dari kedua pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa dengan mengurangi implikasi dari temuan-temuan untuk validitas (digital natives, digital immigrants) dan mengusulkan untuk fokus pada penelitian masa depan.
Source : http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0360131510002563
Kelas : 1IA18
NPM : 59413332
=========================================================================
Digital Game-Based Learning (DGBL) di PendidikanTinggi Ilmu Komputer Berdampak pada Efektivitas Motivasi Pendidikan dan Mahasiswa
Permainan komputer telah menjadi bagian dari lingkungan budaya dan juga sosial terutama bagi anak-anak dan para remaja. Sebuah studi bahwa pelajar yang berusia 7-16 tahun di Inggris menunjukkan bahwa kebanyakan dari mereka adalah pemain game domestik reguler, sedangkan studi terbaru menunjukan bahwa satu alasan utama untuk penggunaan internet di kalangan mahasiswa dalam negeri Yunani berusia 12-16 tahun adalah game online. Dengan demikian permainan atau game sangat berperan sentral dalam kehidupan kaum-kaum muda dan anak-anak.
Kaum-kaum muda sangat termotivasi terhadap permainan yang kontras. Bahkan bermain game merupakan bentuk kemampuan kognitif, dan pembelajaran non-formal bagi para mahasiswa. Permainan yang mencakup tujuan pendidikan akademis lebih berpusat pada peserta didik yang lebih mudah, efektif, menyenangkan, dan menarik.
Secara Khusus game merupakan lingkungan belajar yang berpotensi kuat dalam sejumlah alasan. Dengan game dapat mendukung multi indra, keaktifan, pengalaman, dan pembelajaran berbasis masalah bagi mereka.
Namun, seperti yang pernah ditulis oleh penulis tertentu (Facer 2003 , Kafai 2001, Kirriemuir , 2002 dan Kirriemuir , McFarlane , 2004) bahwa meskipun permainan yang diyakini memotivasi dan mendidik para siswa secara efektif, bukti empiris yang mendukung asumsi ini masih terbatas dan kotradiktif terutama mengenai efektivitas permainan untuk tujuan pendidikan.
Baru-baru ini, proyek penelitian tertentu yaitu TEEM (Teachers Evaluating Educational Multimedia) dan CGE (Computer Games in Education), menyelidiki pengguna game komersial di sekolah bermanfaat terutama mengenai pengembangan, keterampilan, dan motivasi sedangkan hasil pembelajaran kurikuler khusus jarang disebutkan. Secara khusus game tersebut memfokuskan pada tujuan pendidikan, mengatasi dampak motivasi, dan efektifitas pembelajaran.
Pada proyek E-GEMS (Electronic Games for Education in Math and Science) menunjukan bahwa permainan dapat meningkatkan motivasi anak-anak dan prestasi akademik dalam matematika dan ilmu pendidikan di kelas. Namun, penggunaan bahasa dan permainan matematika dengan siswa yang berusia 8 – 12 tahun menunjukan bahwa banyak siswa tidak dapat mengartikulasikan konsep-konsep matematika yang mendasarinya.
Dalam studi lain, Yu, Chang, Liu, dan Chan (2002) melaporkan bahwa penggunaan peermainan untuk sekolah bahasa Inggris yang tinggi berfokus pada prefensi dan kepuasan siswa dari pengalaman belajar. Rosas ET Al (2003) menemukan bahwa penggunaan game di perangkat portable menyebabkan peningkatan motivasi dan hasil belajar dibandingkan dengan pengajaran secara tradisional dalam matematika Sekolah Dasar dan membaca.
Penelitian ini menunjukan bahwa Digital Game Based-Learning (DGBL) dapat meningkatkan pengetahuan kurikuler dan motivasi siswa atau mahasiswa dalam mata pelajaran akademis ini di perguruan tinggi.
Apa yang Mendorong e -Learning Sukses ? Melakukan Investigasi Empiris dari Faktor-Faktor Kritis yang Mempengaruhi Kepuasan Belajar
E-learning adalah pengguna teknologi telekomunikasi elektronik yang digunakan untuk memberikan informasi dalam pendidikan dan pelatihan. Dengan kemajuan dan perkembangan teknologi komunikasi, elearning muncul sebagai paradigma modern. Keuntungan besar dari e-Learning termasuk dalam interaksi antara peserta didik dengan pengajar, atau antara peserta didik dengan peserta didik. Dari keterbatasan waktu dan ruang melalui asynchronous dan model jaringan pembelajaran sinkron. Karatkeristik eLearning yang memenuhi persyaratan untuk belajar dalam masyarakat modren dan telah menciptakan permintaan yang besar untuk e-Learning dari usaha dan lembaga pendidikan tinggi. MIT meupakan upaya untuk menawarkan hampur semua program online yang telah mengirimkan sinyal ke lembaga-lembaga tentang pentingnya e-Learning.
Pada pertumbuhannya e-Learning memiliki tingkat pertumbuhan 35.6%, namun ada pula kegagalannya. Sedikit yang dikatahui masyarakat pada umumnya tentang mengapa beberapa pengguna atau peserta didik berhenti belajar secara online setelah pengalaman awal mereka. Penelitian sistem informasi jelas telah menunjukan bahwa kepuasan pengguna adalah salah satu faktor paling penting dalam menilai keberhasilan implementasi sistem. Dalam lingkungan e-Learning, beberapa faktor menjelaskan tentang kepuasan peserta didik. Faktor-faktor tersebut dapat dikategorikan menjadi enam dimensi yaitu siswa, guru,kursus, teknologi, sistem desain, dan dimensi lingkungan. Karena begitu banyak faktor membuat implementasi dikatakan hampir mustahil berubah.
Survei dilakukan untuk mengetahui faktor penting yang memperngaruhi kepuasan siswa dalam e-learning. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja e-Learning yang disajikan oleh peneliti sebelumnya, pada dasarnya analitis dengan dimensi terstentu.
Untuk kekikiran dan kelayakan praktek, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor kritis memastikan desain e-Learning yang sukses dan operasi dari sudut pandang holistik dan pedoman yang ada untuk pengelolaan e-Learning. Hasil penelitian menunjukan bahwa kecemasan peserta didik terhadap komputer, sikap instruktur terhadap e-learning, manfaat yang dirasakan, kemudahan yang dirasakan, kualitas e-learning, fleksibelitas e-learning, dan keragaman dalam penilaian dalah faktor penting yang mempengaruhi kepuasan peserta didik.
Hasil yang disajikan pasti bisa membantu lembaga untuk mengadopsi taknologi e-Learning dengan mengatasi hambatan potensial, dan dengan demikian mengurangi resiko kegagalan selama pelaksanaan.
Source : http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0360131506001874
Apakah Digital Natives Mitos atau Nyata? Penggunaan Teknologi Digital pada Mahasiswa di Universitas
Penelitian meneliti tingkat dan sifat penggunaan teknologi digital pada mahasiswa untuk belajar dan bersosialisasi. Temuan ini menunjukan bahwa mahasiswa menggunakan berbagai teknologi yang terbatas. Penggunaan alat-alat berkolaborasi pada pengetahuan, dunia maya, dan situs jejaring sosial masih rendah. Digital Natives (seseorang yang lahir setelah tahun 1980) dan mahasiswa dari disiplin teknis (Engineering) menggunakan teknologi yang lebih baik dibandingkan dengan Digital Immigrants (seseorang yang lahir sebelum tahun 1980) dan mahasiswa.Hubungan ini memungkinkan adanya mediasi oleh temuan rekayasa yang membutuhkan akses yang lebih intensif dan ekstensif dengan teknologi bila dibandingkan dengan pekerja sosial. Namun, penggunaan teknologi antara kelompok hanya bersifat kuantitatif.
Studi ini tidak menemukan bukti untuk mendukung klaim bahwa orang muda mengadopsi gaya belajar yang berbeda secara radikal. Sikap mereka terhadap belajar tampak dipengaruhi oleh pendekatan mengajar dosen.
Sebuah ide yang telah beredar bahwa generasi yang lahir setelah tahun 1980 tumbuh dengan akses komputer dan internet, sedangkan generasi yang lahhir sebelum tahun 1980 bernasib yang sebaliknya. Para pendukung ini mengklaim bahwa tidak hanya generasi digital natives yang memiliki kemampuan yang canggih dalam menggunakan teknologi digital, tetapi juga melalui eksposur mereka terhadap teknologi. Mereka telah mengembangkan secara radikal tentang kapasitas kognitif baru dan gaya belajar. Gaya pembelajaran baru dikatakan baik dalam beberapa media yang menilai dari masing-masing komunikasi, kegiatan, pengalaman, dan pemberdayaan belajar.
Sebuah pemahaman mengenai luasan dan sifat penggunaan teknologi oleh mahasiswa membutuhkan wawasan yang konteks dimana teknologi yang digunakan seperti sosialisasi dan keterbukaan terhadap pengalaman baru. Perbedaan disiplin adalah salah satu kunci kotekstual. Penelitian sebelumnya mengindektifikasi tingkat yang lebih menggunakan teknologi antara teknologi dan mahasiswa bisnis.
Akhirnya, penggambaran dan gabungan data secara kualitatif dan kuantitatif, dan perspektif dari kedua pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa dengan mengurangi implikasi dari temuan-temuan untuk validitas (digital natives, digital immigrants) dan mengusulkan untuk fokus pada penelitian masa depan.
Source : http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0360131510002563

0 komentar:
Post a Comment